Cerpen
Butiran Air Mata di Pagi Kelabu
By Haris Panjul
Suasana pagi itu berubah
menjadi kelam. Tampak kerumunan orang yang tak biasanya di sisi rel kereta
menyaksikan sesosok tubuh wanita malang yang tak lagi bernafas dengan jasad
mengenaskan. Mayat gadis malang yang tertutup koran, beberapa orang
membicarakan bagaimana gadis itu mati tragis di rel kereta. Sirine ambulan yang
baru datang terdengar semakin mendekat.
Seorang gadis berseragam yang
hendak berangkat ke sekolah berhenti melihat kerumunan dan bertanya pada salah
seorang yang berkerumun, “ada apa sih mas, ko’ ramai sekali?”. “anu... neng, ada
cewek bunuh diri neng!”, jawab orang itu dengan penuh semangat seolah ingin
jawabannya terdengar oleh semua orang yang ada di tempat itu. Gadis itu
penasaran mendengar berita itu dan Ia pun menerobos kerumunan itu.
Alangkah terkejutnya
ketika Ia melihat mayat gadis yang tergeletak mengenaskan itu. Gadis itu tak
kuasa menahan tangis. Ia berteriak, “tidak...! tidak...! hesti... hesti.....” begitu
histeris...sampai Ia pun pingsan.
Ketika tersadar Reni
sudah berada di sebuah warung pinggir jalan dekat rel kereta. Seorang Polisi
bertanya kepada Reni,
Polisi : “De...
ade kenal dengan gadis itu?”.
Dengan terpatah-patah Reni menjawab pertanyaan Bapak
Polisi itu,
Reni : “dia teman saya pak”. Ia
pun kembali menangis...
Polisi : “tenang ya de, tenang...” Pak
Polisi itu berusaha menenangkan Reni.
Polisi : “de
tolong kasih tau bapak ya de, siapa nama temen ade itu?, ade tau rumahnya? Atau
keluarganya?” kembali Pak Polisi itu bertanya kepada Reni.
Reni : “namanya
Hesti Pak, rumahnya tidak jauh dari rumah saya”.
Polisi : “de ...
ade antar Bapak yah ke orang tuanya?”.
Reni : “ ya
pa...”, jawab Reni singkat.
Pak Polisi pun langsung
mengambil motornya, lalu Reni pun naik dibonceng Pak Polisi. Di perjalanan tak
henti-hentinya Reni menangis, tak kuasa hatinya kehilangan seorang sahabat
terdekatnya.
Reni begitu kecewa dan
menyesal mengapa dia tidak menemani sahabatnya itu tadi malam. “Seandainya saja
aku menemani Hesti tadi malam mungkin aku punya kesempatan untuk mencegah
peristiwa ini”, begitulah penyesalan Reni dalam hatinya.
Hesti malam itu datang memang
datang ke rumah Reni sambil menangis, Ia langsung menuju kamar Reni karena
pintu rumah Reni tidak tertutup.
Hesti : “Ren..
reni...”. sambil menangis Hesti memanggil Reni yang sedang asyik belajar di
kamarnya
Reni : “Hesti...
kamu kenapa...?”. Reni terkejut melihat Reni tiba-tiba tengkurap di atas
ranjangnya langsung memeluk bantal sambil menangis.
Hesti tidak menjawab dia terus menangis sambil tengkurap
di atas ranjang Reni. Reni pun langsung memeluk sahabatnya itu sambil sesekali
mengelus-elus rambutnya yang hitam terurai.
Reni : “Hes..hesti...
kamu tenang dulu ya... coba ceritakan apa masalah kamu”.
Hesti : “Andre...
Ren... Andre..” kembali Hesti menangis.
Reni : “Andre....?kenapa
dengan Andre..?”. Reni mengerutkan dahinya karena bingung. “ya udah aku ambil
minum dulu ya..”,
Reni mengambil air putih lalu kembali mengelus-elus
rambut Hesti.
Reni : “Hes..
minum dulu ya... supaya kamu tenang...”
Reni mencoba merayu sahabatnya agar berhenti menangis.
Hesti pun sedikit meneguk air putih yang diberikan Reni, kemudian Ia kembali
mencurahkan perasaannya kepada Reni.
Hesti : “Andre...
keterlaluan Ren...!! aku malu... Ren..!
aku harus bagaimana Ren...?”.
Reni : “coba
ceritakan yang jelas Hes... kenapa Andre...? ada apa sebenernya... Hes, jangan
bikin aku bingung...Hes”.
Reni hampir hilang
kesabarannya ingin cepat mengetahui permasalahan sahabatnya ini. Namun melihat
kondisi sahabatnya ini Reni pun sadar bahwa tidak mungkin Hesti dapat menjawab
pertanyaannya saat ini, dia perlu waktu untuk menenangkan diri
Hesti pelan-pelan
membalikkan badannya, lalu duduk sambil memeluk bantal yang sudah basah oleh
air matanya. Reni mengerutkan dahinya, Ia sungguh bingung dengan keadaan
sahabatnya. Dalam hati Reni menebak-nebak apa yang terjadi dengan sahabatnya
ini, “kayanya Hesti sedang ada masalah
dengan pacarnya si Andre. Uh... Aku sebenernya males kalo denger Hesti cerita
malasah Andre, dari dulu aku ga suka kalau Hesti pacaran sama Andre, soalnya
Andre itu bukan cowok yang baik. Andre itu urakan, sering bolos sekolah, sering
kena sanksi dari guru, nyebelin deh. Tapi gimana orang Hestinya demen buanget?”.
Hesti : “Ren.. bener kata kamu
Ren... Andre itu brengsek!”
Hesti pun mulai bersuara walaupun pelan sambil sesekali terisak. Reni
mengulurkan sapu tangan untuk mengelap air mata Hesti. Kembali hesti bercerita,
Hesti : “Andre memutuskan aku Ren,
dia menampar aku di depan pacar barunya Ren..”.
Reni : “Kurang ajar!..” tanpa
sadar Reni berteriak,
Reni : “brengsek bener tuh anak!” kembali
Reni mengomentari.
Hesti kembali bercerita,
Hesti : “aku ga’
sengaja ketemu Andre lagi berduaan ama cewek di jalan. Pelukan lagi Ren. Jelas
aku kaget”.
Reni : “terus....” Reni semakin
penasaran.
Hesti : “trus aku samperin, kamu
tau gak siapa cewek itu?”
Reni : “siapa
Hes???”
Hesti : “Mita...
Ren... Mita...!” Hesti berteriak sambil tak sadar tangannya mengguncang-guncang
tangan Reni.
Reni : “Mita....?
Mita....?! maksud kamu....?!”. Reni setengah tidak percaya mendengar penuturan
sahabatnya ini
Hesti : “iya Ren
Mita...!!!”
Reni : “yang
bener...Hes...???, jangan-jangan dia Cuma kebetulan jalan bareng aja Hes..”
Hesti : “ngga’
Ren... Ngga...!!! orang jalannya sambil pelukan gitu”.
Reni : “ trus
kamu tanya ama mereka???” Reni semakin penasaran.
Hesti : “pas aku
samperin..., belum juga aku nanya Andre udah ngomong duluan, katanya maaf Hes
aku dah ganti pacar. Sambil cuek gitu. Nyebelin kan...???”
Reni :
“Gila...!!! Brengsek...!!!” tanpa sadar Reni ikutan terbawa emosi mendengar
cerita Hesti.
“ Trus... si Mita gimana..??”
Hesti : “dia cuma
senyum-senyum gitu. Ih.... nyebelin”.
Reni : “trus..
tadi kamu bilang kamu ditampar Andre...??? itu gimana kejadiannya Ren...???”
Sebentar Hesti diam dan
kembali menangis sehingga Reni pun kembali memeluk dan mengelus sahabatnya itu
dia tau betapa sakit hatinya bila dia berada di posisi Hesti. Hesti kembali
bersuara namun agak pelan dan terpatah-patah.
Hesti : “Ren aku
malu menceritakannya Ren...”
Reni : “Hes...
aku nih sahabat kamu Hes..., kita dah bersahabat sejak kecil kenapa harus malu
Hes...”
Hesti : “tapi
kamu janji ya Ren... jangan cerita ama siapa-siapa...”, Hesti berbisik penuh
ratap.
Reni : “Aku
janji... Hes. Aku janji ga bakalan bilang ma siapa pun. Suwer....”
Reni mencoba meyakinkan
Hesti sambil tangan kirinya memegang pundak Hesti sementara tangan kanannya
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya tanda Ia bersumpah.
Hesti : “Aku...
bilang... ama Andre... klo aku hamil
Ren..., trus... Andre malah menampar aku Ren...”
Reni :
“ap...ap...apa...?!, kamu hamil...??? beneran Hes...???”
Reni kaget bercampur bingung dan tidak percaya apa yang
Hesti katakan.
Reni : “ga
mungkin...! ga mungkin...! kamu becanda kan..??? kamu ngomong gitu Cuma untuk
manasin Mita aja kan...??”
Hesti diam membisu
sesaat, tatapan matanya kosong. Air matanya kembali berlinang. Wajah Reni
tampak tegang menunggu kepastian jawaban dari Reni. Dalam hati Reni berkecamuk
berbagai rasa yang tak menentu mendengar berita ini. Betapa tidak, mereka
berdua masih duduk di bangku SMP, sebentar lagi mereka menghadapi Ujian
Nasional, apa jadinya bila hal itu benar. Uh... bahaya banget, itu yang
terbayang dalam hati Reni.
Dalam ketermenungan Reni,
kembali Hesti mengeluarkan suara lirih, “Ren... a...a...ku, ha... ha....mil...
Ren..., sekarang aku ga tau ha... ha... rus gi..ma..na Ren..”. Reni tercengang,
dia galau... dia tetap ga percaya kalau sahabatnya itu hamil. Bagaimana mungkin
Hesti bisa hamil. Setahu dia Hesti anak yang taat ibadah, rajin dan baik.
Reni : “ngga’...
ngga mungkin... kamu pasti bercanda”, Reni tetap ngotot tidak percaya.
Hesti : “kamu ga
akan benci aku kan Ren...?”
Reni : “jadi
bener kamu hamil...? kamu hamil Hes..???”, Reni berkata dengan gemetaran sambil
memegang dan mengguncang-guncangkan bahu Hesti.
Hesti : “Ren...
kamu sahabat aku kan...?, Ren... tolong bantu aku Ren...”
Suara Hesti begitu berat,
dalam hatinya berkata masih mungkinkah Reni mau membantunya, sahabat yang telah
berbuat aib, dia pasti kecewa berat. Kembali Hesti mengungkapkan permohonannya
kepada Reni sahabatnya,
Hesti : “Ren
tolong temani aku malam ini ya Ren... Aku ingin menemui Andre di rumahnya”.
Reni : “maaf
Hes... sebagai sahabat aku akan bantu kamu dalam hal apapun, tapi dalam hal
ini... maaf Hes... aku ga bisa”.
Reni sepontan menolak
ajakan Hesti untuk menemui Andre, hatinya galau tidak menentu, dia benar-benar
kecewa dengan sahabatnya ini, dalam hatinya berkecamuk rasa marah, benci dan
semua peraaan yang tidak menentu. Akhirnya Hesti pun pergi keluar dari dalam
kamar Reni dengan wajah tertunduk dan uraian air mata. Reni hanya terdiam dalam
kekecewaannya.
Tiba-tiba lamunan Hesti
terhapus oleh motor Pak Polisi yang berhenti. Hesti menghapus butiran-butiran
air mata yang membasahi pipinya, sebuah suara kembali membantu kesadarannya,
“de... belok kanan apa belok kirir de...?”. Ternyata itu suara Pak Polisi yang
sengaja membonceng Hesti untuk menunjukkan rumah Reni. “Be..be..lok kiri pak!”
jawab Reni gugup.
Tak lama kemudian, “itu
pak rumahnya, yang di depannya ada jondol tuh pak”, sambil menunjuk ke arah
rumah berwarna putih, rumah sahabat karibnya Hesti kembali meneteskan air
matanya, Ia tak kuasa menahan air matanya yang mengalir terus tiada henti. “Ini
rumahnya de ?”, tanya pak Polisi kepada Reni. “iya pak”, jawab Reni singkat.
Pak Polisi
lalumenghentikan kendaraannya lalu memarkir motornya di depan rumah Hesti,
kemudian menemui keluarga Hesti. Reni hanya terdiam duduk di jondol depan rumah
sahabatnya itu. Dari dalam rumah Hesti terdengan suara teriakan histeris
keluarga Hesti.
Reni masih terdiam
membisu dalam lamunan dan penyesalannya, “kenapa
aku tadi malam menolak ajakan Hesti...?”, itu yang selalu ada dalam
fikirannya. “andaikan tadi malam aku mau
menemani Hesti, mungkin Hesti hari ini masih hidup. Betapa egoisnya aku!!! Sahabat macam apa aku ini !!! Hesti... maafin
aku Hes... aku ga nyangka malam tadi malam terakhir kita bersama Hes...”.
Dalam diamnya, butiran-butiran air mata Reni terus mengalir
bahkan sampai membasahi seragam sekolahnya.
Tiba-tiba terdengar suara
klakson motor mengagetkan lamunan Reni “tin...!!!”. Semakin membuat Reni lagi,
pengendara motor itu, dia adalah Andre. Di belakangnya seorang gadis memeluk
erat Andre. Ya... dia Mita, rupanya mereka akan berangkat ke sekolah dan belum
mendengar kabar ini.
Reni hanya diam...
diam... dan diam... tatapannya kosong. Menangis... menangis... dan hanya
menangis...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar